Program Doktor Ilmu Politik UNAS Gelar Diskusi Publik: “Demokrasi Cukong dalam Kajian Teoritis dan Realitas Empiris”

Jakarta (UNAS) – Program Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris” pada Kamis (20/02) di Auditorium Universitas Nasional. Acara ini menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, peneliti, serta tokoh politik, yang membahas stagnasi demokrasi di Indonesia dalam dua dekade terakhir dan fenomena “demokrasi cukong”modal politik dan ekonomi dikendalikan oleh segelintir oligarki.

Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni, Prof. Dr. Suryono Efendi, MBA., M.M., dalam sambutannya menegaskan bahwa diskusi mengenai demokrasi merupakan langkah positif bagi institusi pendidikan. Ia menekankan bahwa tema ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, mengingat berbagai tantangan yang dihadapi dalam menjaga sistem demokrasi yang sehat.

“Ada upaya untuk mensentralisasikan kekuasaan melalui sinergi, tetapi di sisi lain, ada juga ancaman yang berpotensi melemahkan demokrasi itu sendiri,” ujar Prof. Suryono.

Lebih lanjut, ia menyoroti fenomena “demokrasi cukong”, yang bukan sekadar wacana, melainkan realitas yang berdampak langsung terhadap kebijakan politik dan tata kelola negara.

“Demokrasi saat ini menghadapi tantangan serius dari dominasi oligarki. Modal besar memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan, yang pada akhirnya dapat mengancam keseimbangan demokrasi yang ideal,” tegasnya.

Ia menutup sambutannya dengan harapan bahwa diskusi ini dapat menjadi wadah refleksi serta pencarian solusi untuk menjaga prinsip demokrasi yang sehat, transparan, dan berkeadilan.

Stagnasi Demokrasi dan Praktik Shadow State

Guru Besar UNAS Prof. Syarif Hidayat, Ph.D Sebagai Pembicara Utama Kegiatan Diskusi Publik Demokrasi Cukong.

Guru Besar Universitas Nasional (UNAS) sekaligus Ketua Komisi Ilmu Sosial pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIS-AIPI), Prof. Syarif Hidayat, Ph.D., menjadi pembicara utama dalam diskusi publik bertajuk “Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris”. Dalam pemaparannya, ia menyoroti stagnasi demokrasi di Indonesia setelah lebih dari dua dekade reformasi.

Menurut Prof. Syarif, indeks demokrasi Indonesia mengalami stagnasi akibat berbagai tantangan, seperti menguatnya politik populis, penyimpangan kebijakan terkait kebebasan sipil, serta manipulasi negara oleh pemerintah untuk kepentingan kekuasaan.

Salah satu faktor utama stagnasi demokrasi adalah fenomena shadow state atau negara bayangan. Mengacu pada teori William Reno (1995), seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat, shadow state merujuk pada aliansi informal antara elit politik, pengusaha, birokrat, militer, dan preman yang mengendalikan pemerintahan formal. Fenomena ini muncul akibat melemahnya fungsi institusi negara, sehingga kepentingan bisnis menjadi lebih dominan dalam pengambilan keputusan politik.

Prof. Syarif juga menjelaskan bahwa pasca reformasi terjadi perubahan besar dalam relasi antara bisnis dan politik. Jika pada era Orde Baru sektor bisnis berada dalam subordinasi negara, maka kini negara justru berada di bawah kendali bisnis. Hal ini semakin memperkuat dominasi oligarki kapitalis dalam menentukan arah kebijakan negara.

“Relasi ini semakin dipererat melalui praktik politik transaksional, di mana kapitalis tidak hanya menjadi penyokong, tetapi bahkan pemilik partai politik, sehingga dapat memengaruhi keputusan-keputusan strategis negara,” paparnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tema diskusi ini menyoroti kesenjangan antara cita-cita reformasi dan realitas yang terjadi.

“Opini mengenai demokrasi cukong ini berangkat dari kajian akademik yang semakin menyoroti kesenjangan antara tujuan reformasi dan kenyataan di lapangan. Kita telah memasuki dua dekade reformasi, tetapi pencapaian yang diharapkan masih jauh dari optimal,” ungkapnya.

Demokrasi Cukong dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Prof. Syarif Hidayat menegaskan bahwa fenomena demokrasi cukong merupakan bentuk nyata dari kolaborasi antara oligarki partai politik dan kapitalis. Praktik ini menciptakan shadow state, sebuah arena dimana kepentingan politik dan ekonomi bertemu untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elit. Akibatnya, demokrasi tidak lagi berjalan berdasarkan mekanisme partisipasi publik yang sehat, melainkan dikendalikan oleh kepentingan oligarki.

Diskusi Publik Demokrasi Cukong dalam Kajian Teoritis dan Realitas Empiris oleh Program Doktoral S3 Politik UNAS di Auditorium.

Mengakhiri pemaparannya, Prof. Syarif merefleksikan masa depan demokrasi Indonesia. Meskipun transisi demokrasi pasca Orde Baru telah berhasil mengakhiri otoritarianisme, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam melepaskan diri dari cengkeraman oligarki. Oleh karena itu, ia berharap forum ini dapat menjadi pemantik diskusi lebih lanjut mengenai strategi memperkuat demokrasi dan mengurangi dominasi oligarki dalam politik.

Selain itu, diskusi ini juga menjadi wadah refleksi bagi akademisi dan praktisi politik dalam menjaga identitas demokrasi Indonesia. Melalui sinergi antara akademisi dan pemangku kepentingan, diharapkan dapat dihasilkan kontribusi yang lebih bermartabat dan berkelanjutan bagi sistem demokrasi di Indonesia.

“Kami mengapresiasi seluruh pihak yang telah menyelenggarakan diskusi ini. Dengan adanya forum seperti ini, kita dapat melihat perspektif yang lebih luas dan menemukan solusi untuk memperkuat demokrasi yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat banyak,” tutupnya.

Beberapa narasumber, seperti Prof. Dr. Burhanuddin Muhtadi, Dr. Benny K. Harman, S.H., M.H., dan Bivitri Susanti, turut menanggapi fenomena ini. Selain itu, Prof. Vedi R. Hadiz dan Prof. Ward Berenschot juga hadir secara daring untuk memberikan pandangan mereka terhadap isu yang sama. Panel diskusi ini juga memberikan kesempatan bagi narasumber lain untuk menyampaikan pendapat sebagai pembanding dalam realitas empiris, yakni Dr. TB. Massa Djafar, M.Si., Budiman Tanuredjo, dan Titi Anggraini.

Dalam kesempatannya, Dr. Benny K. Harman, S.H., M.H., menyoroti dampak negatif politik uang dalam Pemilu serta pentingnya menjaga kemandirian pendanaan partai politik. Ia menjelaskan bahwa saat ini anggota DPR dipilih oleh partai politik, dan oligarki cenderung melihat DPR sebagai lembaga yang lebih mudah dikuasai. Hal ini terutama karena DPR memiliki fungsi legislatif yang semakin kuat sejak reformasi, termasuk dalam pembuatan kebijakan, persetujuan anggaran, dan pengawasan.

Menurut Benny, anggaran besar yang dikelola DPR tidak mungkin berjalan tanpa persetujuan lembaga tersebut. “Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK menunjukkan keterlibatan banyak anggota DPR yang menjadi alat oligarki dalam kaitannya dengan fungsi pengelolaan anggaran,” ungkapnya. Ia menekankan bahwa oligarki dapat mempengaruhi DPR melalui pendanaan partai politik, mulai dari operasional hingga kampanye pemilu. Dampaknya, independensi DPR terancam dalam menjalankan wewenang dan fungsi pengawasannya. Oleh sebab itu, Benny mendorong pengaturan yang lebih baik dalam pendanaan partai politik untuk menjaga independensinya.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan bahwa hasil surveinya menunjukkan toleransi masyarakat terhadap praktik politik uang semakin meningkat setelah adanya pemilu serentak. Bahkan, dampak politik uang kini semakin mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya setelah pemilu tersebut.

Berdasarkan data survei yang ia peroleh, sejak pelaksanaan Pilkada pertama hingga saat ini, toleransi terhadap politik uang terus meningkat. Setelah Pemilu 2019, tingkat toleransi tersebut rata-rata berada di atas 50%. Pada Juli 2024, setelah Pemilu serentak Pileg dan Pilpres, angka ini naik hingga 56%.

“Pemilu serentak pada April 2019 menjadi titik perubahan. Sebelum April 2019, baik dalam konteks DPR, Pileg, maupun Pilkada, tingkat toleransi terhadap politik uang relatif stabil. Namun, setelah April 2019, terjadi peningkatan yang signifikan,” ujarnya.

Di sisi lain, Prof. Vedi R. Hadiz yang hadir secara daring menyatakan bahwa oligarki bukan hanya sekumpulan individu kaya yang identik dengan suku atau ras tertentu, melainkan struktur sosial yang berfungsi untuk menguasai institusi publik dan sumber daya demi keuntungan pribadi. Vedi menekankan bahwa oligarki dapat beroperasi melalui berbagai sistem, baik dalam sistem otoriter di masa Orde Baru maupun demokrasi di era reformasi, dengan memanipulasi institusi pemerintahan dan partai politik, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

“Kritik terhadap oligarki harus difokuskan pada struktur atau sistem politik dan ekonomi, bukan pada individu tertentu,” terangnya.(TIN)