Jakarta (UNAS)- Perang Israel-Palestina yang kembali pecah sejak Oktober 2023 lalu hingga kini masih belum ada titik temu untuk menyudahi peperangan. Imbas perang dikhawatirkan akan melibatkan negara-negara luar. Sementara itu, peperangan telah menyebabkan ribuan warga sipil menderita luka-luka hingga meninggal dunia dan hilangnya tempat tinggal yang nyaman. Dalam hal ini P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) berkolaborasi dengan Program Studi Hubungan Internasional menggelar International Talks 2023.
Kegiatan International Talks 2023 kali ini mengusung tema “How to Stop War in Gaza” mengundang Ceo of Al Quds Foundation Malaysia Researcher of Gaza, Palestine Dr. Sharif Abu Shammala dan Researcher of International Studies, Universitas Nasional Dr. Robi Nurhadi sebagai pembicara. Acara tersebut digelar pada Jumat (17/11) secara Virtual.
Dalam materinya Ceo of Al Quds Foundation Malaysia Researcher of Gaza, Palestine Dr. Sharif Abu Shammala menyampaikan bahwa kita harus mengingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa masalah ini bukan karena perlawanan ini tentang pemberian hak kepada Palestina, maka masalah akan terselesaikan. “Kita ingatkan kepada masyarakat bahwa masalahnya bukan perlawanan, masalahnya adalah Palestina dan masalah kependudukan jika kita mengakhiri pendudukan dan memberikan hak penentuan nasib sendiri kepada rakyat Palestina, maka masalah itu akan terselesaikan dan kedamaian akan datang ke Palestina”, katanya.
Sementara itu, Researcher of International Studies, Universitas Nasional Dr. Robi Nurhadi menyampaikan sebanyak 11.000 orang palestina mati dan sebanyak 4000 anak-anaknya didalamnya ini adalah alasan perang harus segera kita hentikan. “Gaza telah mengalami krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarahnya, air yang bersih, kelistrikan, komunikasi makanan bahkan obat-obatan. Situasi ini mengenaskan. Perdamaian dua negara, pemulihan korban perang, transformasi menuju kekompakan dunia, mengangkat kemanusiaan warga dunia dan menciptakan perdamaian multipolar”, jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa saat situasi membahayakan kemanusiaan. “Oleh karena itu kita harus mengubah situasi ini ke arah kata yang lebih kohesif, bukan kata yang merekat, sehingga kita akan mendapatkan kata yang lebih harmonis”, pungkasnya. (TIN)