Jakarta (Unas) – Universitas Nasional (Unas) melalui Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) kembali menggelar pertemuan lintas budaya dengan menghadirkan pembicara Sosial Politik Dunia, dalam perhelatan International Conference on Social and Politics (ICOSOP) ketiga, di Auditorium Unas, Selasa (19/12).
Ketua Pelaksana kegiatan, Dr. Qonita Basalamah, M.Si., mengatakan, pada tahun ini, ICOSOP 2023 menghadirkan pembicara dari 7 universitas ternama, yakni Singapura, Malaysia, Australia, Timor Leste, Inggris, Uzbekistan, dan Turki.
“Kegiatan tahunan ini selalu menghadirkan pembicara dunia dan merupakan wadah pertukaran pengetahuan ilmu sosial dan politik diantara para presenter, dosen, pengambil kebijakan, dan khalayak umum,” jelasnya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama Unas, Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt. mengatakan, konferensi ini diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan bidang sosial politik, pedamaian dan keadilan, humaniora, dan mencapai kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia.
“Kita selalu melihat fenomena menarik yang terjadi disekitar. Sebagai akademisi, tugas kita tidak hanya melihat, tetapi juga mengkaji, meneliti, dan berdiskusi guna menghasilkan pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan bersama,” ujarnya.
Mengulas Perspektif Pascakolonial dan Lintas Budaya Asia
Dekan FISIP Unas, Dr. Erna Ermawati Chotim, M.Si. mengatakan, konferensi ini bertujuan untuk memperkuat literasi mengenai isu sosial politik yang sedang berkembang di dunia. Pada tahun ini, isu mengenai pascakolonial dan lintas budaya merupakan hal yang relevan.
“Saat ini, Asia tengah mengalami perubahan signifikan dari masa kolonial. Konferensi ini mengulas mengenai pentingnya memahami dan menghormati perspektif pascakolonial di Asia, termasuk pentingnya mendorong keadilan sosial dan kesetaraan di seluruh benua,” ucapnya dalam sambutan.
Ia melanjutkan, adanya diskusi internasional ini juga diharapkan dapat mengeksplorasi sumber kekuatan dan inovasi bagi Asia dan global. Menurutnya, pertukaran budaya dan gagasan dari berbagai pemikiran dapat menciptakan peluang baru bagi pertumbuhan dan pembangunan di Asia.
“Saya percaya bahwa dengan berbagi pengetahuan dan pemikiran kreatif, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih baik tentang perspektif pascakolonial dan pertemuan lintas budaya di Asia. Selain itu, juga menciptakan langkah strategis untuk masa depan yang lebih inklusif dan adil,” ucapnya.
Hadir sebagai keynote speaker, Assoc. Prof. Sulfikar Amir, Ph.D., NTU dari Institute of Science and Technology for Humanity (NISTH) Singapore menuturkan bahwa pada masa kolonialisme, negara mengalami berbagai penindasan yakni eksploitasi sumber daya, dominasi politik, dan pemusnahan budaya.
“Berakhirnya penjajahan tersebut, terbitlah perspektif post colonial atau pascakolonial, dimana terdapat banyak pembahasan literatur dan teori untuk menganalisis permasalahan pascakolonial,” katanya. Dalam presentasinya itu, Prof. Sulfikar turut membahas mengenai projek pemindahan Ibu Kota ke Nusantara sebagai implikasi dari Techo Nationalist Urbanism.
Turut hadir sebagai pembicara tamu Assoc. Prof. Dr. Mimi Fitriana, Head of Research Management Center, International University Malaya Wales, Malaysia, dan Christoper Kelly, M.A., dari King’s College London, United Kingdom. Selain itu, juga hadir pembicara panel Dr. Yusuf Avci, Social Science University of Ankara, Turkiye, Sanjar Turdiev, Ph.D. dari University of Uzbekistan, dan Jose Cornellio Guterres, Ph.D. dari National Institute for Science and Technology, Timor Leste.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan diskusi panel kolaborasi antara para pakar, dosen, serta mahasiswa. Terdapat 40 abstrak penelitian yang dipresentasikan dengan pembagian topik (1) Culture and Media-Power Relation, (2) Social Resilience, Global Citizen Wellbeing, and Cross-Cultural Encounter, (3) Border Area and Cross-Country Mobility, (4) Decolonization in Southeast Asia, (5) Election, Democration, and Human Rights in Asia, dan (6) Public Service Ecosystem and Management.(NIS)