Jakarta (UNAS) – Diskusi Politik (D’Pol) Universitas Nasional sukses menyelenggarakan seminar bertajuk “Indonesia dan Arah Baru Politik Luar Negeri dalam BRICS”. Acara ini membahas peran serta implikasi keanggotaan Indonesia dalam BRICS, blok ekonomi besar yang mencakup lebih dari 45 persen populasi dunia dan seperempat PDB global.
Seminar dibuka dengan sambutan Assoc. Prof. Dr. Aos Yuli Firdaus, S.IP., M.Si., serta Ketua Pelaksana Yazid Saprizal, dan dipandu oleh Tri Rahayu selaku moderator.
Materi pertama disampaikan oleh Dr. Irma Indrayani, M.Si., yang menekankan bahwa Indonesia sebagai middle power perlu menyeimbangkan kepentingan BRICS dengan negara Barat, khususnya G7, tanpa meninggalkan prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Menurutnya, BRICS memberi peluang besar dalam bidang ekonomi, akses pasar, dan teknologi. Namun, Indonesia tetap harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ketergantungan baru.
Arief Rahman Maulana kemudian menyoroti implikasi ekonomi dari keanggotaan Indonesia di BRICS. Ia menjelaskan bahwa BRICS dapat membuka akses ekspor, pendanaan infrastruktur melalui New Development Bank (NDB), serta mengurangi ketergantungan pada IMF dan Bank Dunia. Meski begitu, ia menekankan pentingnya strategi diversifikasi dan hedging agar Indonesia tidak sekadar berpindah ketergantungan dari Barat ke Timur.
Dari perspektif internasional, sejumlah narasumber turut memberikan pandangan.
- Bijay Selvaraj (India) menekankan BRICS sebagai forum yang menjunjung multilateralisme dan solidaritas negara berkembang, sekaligus membuka peluang kerja sama di bidang digital, perdagangan, inovasi, dan pendidikan.
- Amr Ahmed Mokhtar Mohamed Abdelhady (Mesir) menyoroti BRICS sebagai alternatif pendanaan infrastruktur tanpa syarat politik, sekaligus wadah kerja sama dalam isu perubahan iklim, ketahanan pangan, dan pembangunan berkelanjutan.
- Irina Vorobyeva (Rusia) menjelaskan mekanisme kerja sama BRICS yang bertumpu pada tiga pilar utama: politik-keamanan, ekonomi-keuangan, serta budaya dan pertukaran masyarakat. Ia menegaskan bahwa BRICS berkembang menjadi forum multipolar yang inklusif dan berkeadilan.
- Gu Haiyong (Tiongkok) menambahkan bahwa BRICS adalah platform strategis untuk membangun tatanan dunia multipolar, dengan potensi besar pada investasi, perdagangan, transformasi energi, serta konektivitas digital.
- Polina (Rusia) memaparkan kontribusi Rusia dalam sains, teknologi, budaya, hingga sejarah, sekaligus menegaskan komitmen negaranya dalam kerja sama global melalui BRICS.
Dalam sesi tanya jawab, para peserta menyoroti posisi Indonesia dalam menjaga prinsip bebas-aktif, peluang kerja sama strategis, serta pemanfaatan bonus demografi. Para narasumber sepakat bahwa BRICS bukan pengganti mekanisme global lain, melainkan platform kerja sama multilateral yang dapat memperkuat kemandirian Indonesia sekaligus memperluas peran di kancah internasional.
Seminar ini menyimpulkan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam BRICS merupakan langkah penting politik luar negeri 2025, serta momentum untuk mengukuhkan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang aktif membentuk tatanan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. (***)
