Jakarta (UNAS) – Universitas Nasional (UNAS) kembali mencatat sejarah penting dalam perjalanan akademiknya dengan mengukuhkan enam Guru Besar baru dalam Sidang Terbuka Majelis Guru Besar yang digelar di Auditorium UNAS pada Senin–Selasa (18–19/8/2025). Salah satunya adalah Prof. Dr. Drs. Adv. Ganjar Razuni, S.H., M.Si yang resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Politik.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Ganjar mengangkat tema “Membangun Cita Demokrasi Pancasila di Tengah Krisis Demokrasi Ultra-Liberal.” Tema tersebut lahir dari kegelisahan intelektual sekaligus kepeduliannya sebagai anak bangsa terhadap kondisi demokrasi saat ini.
Prof. Dr. Drs. Adv. Ganjar Razuni, S.H., M.Si
Ia menilai demokrasi liberal dan ultra-liberal menyimpan kerentanan yang berbahaya. “Demokrasi liberal menjadi seperti rumah kosong, bentuknya masih ada, tetapi jiwanya telah pergi,” ujarnya, sembari mengutip pemikiran para tokoh dunia seperti Wendy Brown, Chantal Mouffe, Pierre Rosanvallon, dan Michael Sandel.
Prof. Ganjar menegaskan bahwa demokrasi Pancasila harus hadir sebagai solusi atas paradoks demokrasi liberal yang ditandai dengan ketimpangan sosial, menurunnya partisipasi politik substantif, serta menguatnya populisme. Menurutnya, demokrasi sejati bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi sistem kehidupan bersama yang menegakkan solidaritas, keberagaman pandangan, dan keadilan sosial.
“Demokrasi harus diremajakan sebagai perjuangan bersama. Bukan milik korporasi, bukan milik elite, melainkan milik seluruh warga. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya menjadi sistem, tetapi juga bangunan peradaban dan harapan,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengusulkan penataan ulang sistem pemilu dan kepartaian politik sebagai langkah awal untuk keluar dari krisis demokrasi ultra-liberal. Dengan begitu, cita demokrasi Pancasila dapat diwujudkan secara konsisten sesuai jati diri bangsa Indonesia.
Sebagai penutup, Prof. Ganjar mengutip pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 dengan menekankan bahwa Pancasila tidak akan menjadi realitas tanpa perjuangan berkelanjutan. “Prinsip dasar revolusi adalah menjebol dan membangun. Dalam sifatnya yang mendasar, Pancasila menjadi prinsip radikal yang merombak norma hukum, desain kelembagaan politik, serta praktik demokrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” pungkasnya. (TIN)