JAKARTA (UNAS) – Dalam rangka memperingati 80 tahun berdirinya Australia Indonesia Association (AIA), Program Studi Hubungan Internasional dan Pusat Studi Australia Universitas Nasional (UNAS) bekerja sama dengan AIA menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Sejarah Hubungan Australia dan Indonesia: 1940-an hingga Sekarang” pada Kamis, 19 Juni 2025, di Aula UNAS Pejaten Blok A, Lantai 4.
Seminar ini bertujuan menelusuri sejarah panjang hubungan bilateral Indonesia dan Australia yang telah terjalin selama lebih dari delapan dekade. Berbagai aspek hubungan kedua negara dibahas, mulai dari dukungan diplomatik Australia terhadap kemerdekaan Indonesia, hingga kerja sama kontemporer di bidang pendidikan, kebudayaan, keamanan, dan ekonomi.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja Sama UNAS, Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja Sama UNAS, Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt., dalam sambutan pembukaannya menyampaikan apresiasi atas kehadiran para tokoh dari kedua negara. Ia menegaskan bahwa hubungan Indonesia–Australia tidak hanya dibangun atas dasar kedekatan geografis, tetapi juga kesamaan visi dalam menciptakan perdamaian dan kemitraan kawasan.
“Hubungan Indonesia dan Australia telah berkembang melalui kerja sama dan saling menghormati, tidak hanya dalam politik dan ekonomi, tetapi juga dalam pendidikan dan pertukaran budaya,” ujar Prof. Ernawati.
Ia juga menyoroti pentingnya peran pendidikan dalam mempererat ikatan kedua negara. Ribuan mahasiswa Indonesia yang pernah menempuh studi di Australia telah membawa kembali tidak hanya pengetahuan, tetapi juga pengalaman hidup yang memperkaya relasi bilateral. Selain itu, kerja sama dalam isu global seperti perubahan iklim, energi hijau, dan diplomasi berbasis masyarakat turut menjadi perhatian utama.
Seminar ini juga dihadiri oleh Isla Winarto, Wakil Presiden AIA, yang menyampaikan bahwa Center for Australian Studies (CFAS) UNAS merupakan satu-satunya pusat studi Australia di tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Sejak berdiri pada 2021, CFAS aktif dalam pengembangan kajian Australia melalui riset, pengajaran, dan publikasi akademik.
“CFAS telah melahirkan beragam karya akademik yang membahas isu strategis seperti kebijakan luar negeri dan kebudayaan Australia. Kolaborasi kami dengan berbagai universitas dan lembaga Australia terus berkembang,” jelas Isla.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Rod Brazier, turut hadir memberikan pandangan diplomatik. Ia menekankan bahwa Australia telah memainkan peran penting dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak 1940-an dan terus menjadi mitra strategis hingga kini.
“Hubungan kedua negara telah melewati berbagai tantangan global, tetapi tetap tumbuh dan kini mencakup sektor pendidikan, pertahanan, keamanan, serta pertukaran generasi muda,” ungkapnya.
Seminar ini juga menghadirkan sejumlah pembicara utama yang membahas hubungan Indonesia–Australia dari sudut historis hingga masa depan. Jan Lingard, penulis buku “Rebels and Refugees”, secara daring menjelaskan bahwa AIA didirikan pasca-Perang Dunia II untuk menjembatani hubungan antara Australia dan kawasan Asia yang kala itu masih asing bagi publik Australia.
Sementara itu, Prof. Greg Barton dari Deakin University menyoroti peran Indonesia sebagai mitra utama Australia, mengutip pernyataan PM Paul Keating dan PM Anthony Albanese yang menyebut Indonesia sebagai negara paling penting bagi masa depan Australia.
“Contoh nyata kerja sama erat antara kedua negara tampak saat tragedi bom Bali. Kolaborasi forensik antara AFP dan Polri menunjukkan kepercayaan dan koneksi operasional yang kuat,” ujar Barton.
Selanjutnya, Dr. Hendra Maujana Saragih, S.I.P., M.Si., memaparkan perkembangan terkini dalam kerja sama bilateral, termasuk penandatanganan Rencana Aksi Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia–Australia 2025–2029. Ia menyebut meski kerja sama terus berkembang, tantangan seperti isu keamanan maritim dan perbedaan kebijakan luar negeri masih perlu dikelola dengan baik.
Seminar ditutup oleh Drs. Aos Yuli Firdaus, S.I.P., M.Si., yang menyampaikan harapan agar hubungan Indonesia–Australia ke depan semakin kuat dan produktif. Acara ditutup dengan penyerahan sertifikat, plakat, dan cinderamata dari UNAS kepada para pembicara dan delegasi, serta sesi dokumentasi bersama.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa kolaborasi strategis Indonesia dan Australia tidak hanya dilakukan oleh aktor negara, tetapi juga diperkuat oleh inisiatif akademik dan partisipasi aktif generasi muda. (SAFA)