JAKARTA (UNAS) – Dalam upaya untuk turut serta mempertahankan kedaulatan Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nasional bekerjasama dengan Badan Keahlian DPR RI menggelar International Conference on Social Politics , Kamis (17/10) di Aula UNAS. Konferensi ini merupakan forum untuk mendiskusikan berbagai masalah terkait dengan dampak atas era industri 4.0 yang berkembang di masyarakat dalam bidang sosial dan politik yang terjadi saat ini.
Kegiatan yang turut menjadi bagian dari Bulan Ilmiah 70 Tahun UNAS berkarya yang pada Oktober ini UNAS memasuki Usianya yang ke 70tahun. Konferensi yang mengusung tema “Cyber Security in the Technological Era 4.0” ini mengundang narasumber dari berbagai negara yaitu dari Italy, Malaysia, Australia dan Korea Selatan.
Para narasumber yang hadir antara lain Claudio Cozzolino dari Master of Arts dalam Bahasa dan Peradaban Asia – Asia Timur di Italy, Dr. Zaini Othman dari Universiti Malaysia Sabah, Alexander Meekin, Second Secretary for Political Affairs Kedutaan Australia, Ms. Park Jin-Young, Second Secretary for Political Affairs Kedutaan Korea, Dr. Inosentius Samsul, S. H., M.Hum. dari Badan Keahlian DPR RI, Agung Nugraha, S.IP., M.Si The Cyber Body and National Encryption Agency/BSSN Republik Indonesia dan Prof. Dr. Syarif Hidayat, MA. Yang merupakan guru besar di UNAS.
Dalam paparannya Prof. Dr. Syarif Hidayat, MA mengatakan bahwa Industri 4.0 telah mendorong berbagai profesi untuk berubah bentuk.Sebelum Industri 4.0, ada tiga revolusi industri yang telah menyebabkan perubahan paradigma dalam domain manufaktur, diantara lain mekanisasi melalui tenaga air dan uap, produksi massal di jalur perakitan dan otomatisasi menggunakan teknologi informasi.
Syarif Hidayat juga menambahkan bahwa aspek penting dari Industri 4.0 di luar teknologi adalah tantangannya untuk tata kelola namun juga keberhasilan industri 4.0 juga tergantung pada kemampuan pemerintah. “Di antara aspek kompleksitas penting dari Industri 4.0 di luar teknologi adalah tantangannya untuk melakukan tata kelola Namun, keberhasilannya tergantung pada kemampuan pemerintah dan warga negara untuk berkomitmen dalam mendukung transformasi masyarakat menjadi masyarakat modern dan cerdas yang digerakkan oleh teknologi canggih,” tambah Guru Besar UNAS ini.
Konsep tata pemerintahan yang baik, lanjutnya, telah mengalami banyak pembiasan baik pada tingkat konsep maupun implementasi kebijakan. Penyimpangan ini terjadi, terutama ketika konsep pemerintahan yang baik diadopsi oleh lembaga internasional, seperti Wold Bank, IMF dan USAID untuk digunakan sebagai persyaratan dalam menyalurkan bantuan ke negara penerima (negara berkembang), terutama terkait dengan permintaan untuk melakukan struktural pengaturan. konsep tata kelola yang baik lebih diarahkan untuk menjaga agenda pembangunan internasional, dan cenderung menggunakan parameter yang sesuai untuk semua negara.
Lebih lanjut, Hidayat berpendapat, di antara bias konseptual yang dimaksud adalah bahwa arena pemerintahan yang baik telah lebih ditekankan di negara, sedangkan arena masyarakat tidak mendapat perhatian seimbang. Hal ini terjadi karena diyakini oleh lembaga internasional, khususnya Bank Dunia, bahwa buruknya kinerja negara (pemerintah) dalam menyediakan layanan publik adalah faktor utama yang menyebabkan kegagalan sebagian besar negara berkembang dalam memanfaatkan bantuan asing untuk pembangunan ekonomi.
Ia juga yakin dengan diadakan konferensi ini bisa memberi masukan kepada pemerintah untuk menghadapi tantang industri 4.0. “Karena tantangan ini, tidak diragukan bahwa kebijakan inovatif dan reformasi legislatif penting untuk mendukung transformasi digital. Mereka memungkinkan pemerintah untuk menempatkan langkah-langkah dan sumber daya dalam menanggapi tantangan dan peluang yang dibawa oleh media digital,” paparnya.
Dalam materinya, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik ini menawarkan konsep “Proper Governance” dalam implementasi tata kelola pemerintah di era industri 4.0 yang terdiri dari 4 pilar; pertama, developmental, kedua demokrasi. Kedua pilar ini masih mengadopsi prinsip Good Governance. Ketiga adalah socially inclusive dan terakhir adalah local content yang merupakan keterbaruan dari konsep Proper Governance dalam menjawab tantangan tata kelola pemerintah di era teknologi 4.0.
Sebagian pembicara juga memandang bahwa publik menjadi bagian terpenting dalam ketahanan siber. Salah satunya adalah Dr. Inosentius Samsul, S. H., M.Hum dari Badan Keahlian DPR RI berpendapat bawah dalam Rancangan UU yang digodok di DPR, kelak diyakini akan mendorong pembudayaan keamanan dan ketahanan siber. RUU tersebut dinilai penting karena tingginya pengguna internet.
“Dalam RUU yang sedang diolah DPR penting untuk mendorong isu tentang keamanan dan ketahanan siber dalam pengguna internet yang sangat tinggi dan kini penggunaan internet di Indonesia diatas rata-rata dunia.” Ujar pembicara dari badan keahlian DPR.
Perwakilan dari Badan Keahlian DPR RI itu menyebutkan, setidaknya ada dua undang-undang yang sedang di diskusikan yaitu mengenai undang –undang perlindungan data pribadi dan undang- undang kemana siber.
Inosentius juga berpesan agar kegiatan ini bisa bisa menjadi ruang diskusi “saat ini RUU masih dalam tahap pembicaraan tingkat satu, saya berharap dengan kunjungan ke kampus-kampus, ini menjadi ruang diskusi dari badan keahlian untuk bicara.” Harapnya.
Semetara itu, Alexander Meekin yang merupakan perwakilan dari Kedutaan Australia juga menyatakan dukunganya mengenai adanya internet yang Gratis,Terbuka dan Aman. “ Posisi Australia saat ini mendukung adanya internet yang free, open and secure,” ungkapnya.
Ia juga tidak menampik bahwa kriminal siber adalah isu internasional. Oleh karena itu, Australia memandang perlunya kerjasama dengan negara-negara lain. Indonesia menjadi penting karena kuatnya hubungan bilateral antar kedua negara. Australia juga percaya penduduk antar kedua negara mulai saling terhubung serta menghadapi tantangan yang sama dalam melindungi infrastruktur.
“Australia memandang perlunya kerjasama dengan negara-negara lain termasuk dengan Indonesia yang menjadi penting karena kuatnya hubungan bilateral antar kedua negara. Australia juga percaya penduduk antar kedua negara mulai saling terhubung serta menghadapi tantangan yang sama dalam melindungi infrastruktur.” Sambung Alex. (*TIN/R)