You are currently viewing Jadi Doktor Bidang Ilmu Komunikasi, Irfan Angkat Tindakan Komunikatif Pemerintah di Masa Pandemi Covid-19

Jadi Doktor Bidang Ilmu Komunikasi, Irfan Angkat Tindakan Komunikatif Pemerintah di Masa Pandemi Covid-19

Jakarta (Unas) – Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Unas Irfan Fauzi Arief, M.Si., baru saja berhasil menyelesaikan studi doktoralnya (S3) di Universitas Sahid Jakarta. Ia diuji oleh para penguji pada sidang terbuka promosi doktor pada Kamis, (27/7) di Gedung Serbaguna Sekolah Pascasarjana Sahid Sudirman Residence Lt.5, Sudirman, Jakarta.

Irfan berhasil mempertahankan disertasinya berjudul ‘Tindakan Komunikatif Pemerintah di Masa Pandemi Covid-19 (Analisis Hermeneutika Berita Media Massa Online Periode Maret-Mei 2020)’. Adapun penguji sidang yaitu Dr. Marlinda Irwanti P, M.Si. selaku Ketua Sidang, Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si. selaku Penguji, Dr. Alexander Seran selaku Penguji, Dr. Jamalullail, M.M. selaku Penguji, Dr. Nandang Mulyasantosa, M.M., M.Si., selaku Penguji dan Dr. Gloria Angelita T, M.Si. selaku sekretaris sidang.

Irfan juga dipromotori oleh Dr. Mirza Ronda, M.Si. dan Co-Promotor Dr. Suraya, M.Si.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Unas Irfan Fauzi Arief, M.Si., saat menjelaskan disertasi pada sidang terbuka promosi doktor (S3).

Dalam ringkasan disertasinya yang Ia tulis, Irfan menjelaskan bahwa pada tanggal 4 Februari 2020 pemerintah menerbitkan Surat Keputusan (KEPMENKES) No. 104 2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus sebagai Penyakit yang dapat menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulannya. Pada surat tersebut dicantumkan pula mengenai komunikasi risiko sebagai salah satu langkah penanggulangan pandemi.

Ia melanjutkan, berbagai kebijakan pun diberlakukan seperti PSBB, PPKM dan pembatasan lainnya. Informasi berbagai kebijakan ini pun diberitakan diberbagai media, baik media cetak, radio dan elektronik maupun media sosial. “Informasi media saat itu dipenuhi oleh berbagai informasi seputar Covid-19 baik berupa program maupun kritikan, baik yang negatif maupun positif sehingga masyarakat sulit membedakan mana berita benar dan mana berita hoax,” tulisnya.

“Dalam berbagai pemberitaan di media presiden meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap tenang. Namun pemerintah tidak menyajikan informasi yang cukup memadai untuk menghadapi wabah tersebut. Saluran komunikasi satu- satunya

yang digunakan pemerintah adalah media massa. Akibatnya muncul ketakutan, kecemasan, dan kepanikan yang berlebihan di masyarakat yang berujung pada adanya fenomena ‘panic buying’,” lanjutnya.

Irfan menambahkan bahwa peran media sangatlah penting untuk memberikan informasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun sayangnya, informasi di media mengenai wabah covid-19 pada saat itu lebih banyak dikaitkan dengan argumentasi politik daripada argumentasi Kesehatan.

“Fenomena model komunikasi krisis pemerintah yang memposisikan dirinya sebagai subjek utama pengambilan keputusan dan masyarakat hanya dijadikan sebagai objek oleh Habermas disebut dengan tindakan instrumental, dimana komunikasi hanya berfokus pada tujuan sesuai tugas pokok dan fungsi semata,” papar Irfan.

Menurutnya, akibat tidak ada atau kurangnya partisipasi masyarakat sebagai bagian dari pemangku kepentingan terkait dalam pengambilan keputusan, telah menyebabkan model komunikasi krisis pemerintah berubah menjadi krisis komunikasi pemerintah yang ditandai oleh ragamnya distorsi komunikasi dan miss informasi.

Dalam penelitian ini, Irfan menyajikan data media-media yang Ia gunakan dalam penelitian ini. “Dari 12 berita yang memuat 31 pernyataan pemerintah di 3 media online (Kompas.com, detik.com dan tribunnews.com) periode Maret – Mei 2020 ditemukan adanya indikasi ketidakmampuan Pemerintah dalam tindakan komunikatif, terutama dalam aspek klaim kejelasan yang menimbulkan adanya distorsi informasi,” jelasnya.

“Pemerintah dalam memberikan pernyataan terkesan manipulative, banyak menggunakan jargon dan istilah-istilah yang tidak terdefinisikan dengan baik sehingga menimbulkan kesimpangsiuran informasi. Selain itu, pemberitaan pada media juga tidak memenuhi aspek ketepatan atau legitimasi karena kurangnya keterwakilan stakeholder seperti tenaga ahli dan masyarakat,” ungkap Irfan.

Dari hasil penelitian ini, Ia berharap dapat memberikan edukasi tentang bahaya inkonsistensi dan ambiguitas komunikasi pada masa krisis. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan kemampuan berkomunikasi para pejabat pemerintah. Meningkatnya kemampuan komunikasi pejabat pemerintah diruang publik akan berimplikasi langsung pada efektifitas kinerja dan kepercayaan public terhadap pemerintah. (*DMS)